Harta, Jabatan, dan Ujian Abadi: Kekayaan Bukan Tujuan, Tapi Tanggung Jawab Menuju Akhirat



     Oleh: Sudarto (Dosen PGSD FIP                   Universitas Negeri Makassar)

Bayangkan sebuah sungai deras yang mengalir, membawa berkah sekaligus badai. Kekayaan, kemiskinan, pangkat, dan jabatan ibarat sungai itu—kadang memeluk kita dengan kemewahan, kadang menguji dengan kekeringan. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, di mana mobil mewah dan gelar bergengsi jadi ukuran sukses, jaranglah kita renungkan makna sejati: semuanya hanyalah ujian hidup yang menentukan posisi kita di akhirat. 

Bukan harta yang menyelamatkan, tapi bagaimana kita mengelolanya. Bukan jabatan yang memuliakan, tapi tanggung jawab yang kita emban. Artikel ini mengajak kita menyelami hikmah ilahi, di mana kekayaan jadi ladang amal, kemiskinan jadi sabar emas, dan jabatan jadi amanah berat. ​

Kekayaan sering digambarkan sebagai rahmat Tuhan, tapi juga ujian tersulit. Rasulullah SAW bersabda, "Ujian bagi umatku adalah harta kekayaan," (riwayat At-Tirmidzi). Bukan kemiskinan yang dikhawatirkan, melainkan kemewahan yang bikin lupa diri, seperti umat terdahulu yang binasa karena bergelimang duniawi. 

Bayangkan orang kaya yang rumahnya megah, tapi hatinya kering karena pelit zakat. Atau filantropis yang sedekah miliaran, tapi ikhlasnya tulus tak ketulung. Kekayaan bukan dosa, tapi tanggung jawab: keluarkan 2,5% untuk zakat, infak untuk yatim, bangun masjid untuk umat atau sedekah untuk sarana pendidikan. Allah SWT firmankan di Al-Anbiya:35, "Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan." Kaya adalah ujian syukur—apakah harta jadi jembatan surga atau jebakan neraka? ​

Sebaliknya, kemiskinan adalah ujian sabar yang mulia. Bukan kutukan, tapi ladang pahala. Orang miskin yang tetap sholat malam, senyum meski lapar, dan tolong sesama yang lebih kaya—bukan harta, tapi iman. Wahbah Zuhaili jelaskan, kemiskinan bukan tanda murka Allah, justru bisa jadi kemuliaan jika dihadapi dengan ikhlas. Di akhirat, orang miskin ditanya: "Bagaimana kau sabar?" Orang kaya: "Untuk apa hartamu?" Keduanya ujian—sabar vs syukur. Kisah Nabi Ayyub AS yang miskin tapi tegar, ajarkan: kemiskinan bukan akhir, tapi pemurni jiwa. Di dunia hari ini, orang miskin yang berbisnis halal sering lebih bahagia daripada kaya yang gelisah tagihan pajak. ​

Pangkat dan jabatan? Lebih berat lagi ujiannya. Jabatan bukan hak, tapi amanah sementara. Seorang pejabat tinggi yang adil, rakyatnya makmur—pahala berlipat. Tapi korupsi, nepotisme? Neraka menganga menanti. Islam ajarkan: jabatan untuk rakyat, bukan untuk pribadi. Seperti Khalifah Umar bin Khattab yang jalan kaki ke pasar meski pemimpin jutaan umat. Jabatan uji integritas: apakah kuasa buat riya atau khidmat? Di akhirat, ditanya: "Siapa yang kau pimpin? Bagaimana kau layani?" Banyak direktur kaya tapi miskin akhirat karena jabatannya jadi alat nafsu belaka. ​

Semua ini kaitan erat dengan ujian hidup dan akhirat. Dunia fana, akhirat abadi. QS Al-Fajr:15-20 gambarkan: orang kaya sombong, miskin hina—padahal keduanya ujian. "Kekayaan dan kemiskinan semata takdir Allah. Hamba harus puji Dia di keduanya," tegas ulama. Ujian ini ukur ketaqwaan: kaya tapi dermawan? Miskin tapi ikhlas? Berpangkat tapi rendah hati? Atau sebaliknya? Rasulullah khawatir umatnya tenggelam kemewahan, bukan kemiskinan. Di zaman now, medsos pamer harta, jabatan jadi ajang flexing—terlupakan akhirat. ​

Lalu, sikap apa yang sebaiknya ditunjukkan? Tanggung jawab dan akhlak jadi kunci. Pertama, syukur dan qanaah. Kaya? Bersyukur dengan sedekah. Miskin? Qanaah (pasrah ikhlas). Kedua, dermawan. Orang kaya tanggung jawab umat—kemiskinan karena pelitnya kaya, sabda Nabi. Zakat, infak, wakaf: harta jadi pahala abadi. Ketiga, sabar dan tawadhu. Berpangkat? Ingat amanah, bukan sombong. Miskin? Sabar, bukan dengki. Keempat, ilmu dan amal. Kekayaan tanpa ilmu sia-sia. Jabatan tanpa akhlak bencana. Kelima, muhasabah diri. Tiap malam tanya: "Hari ini hartaku halal? Jabatanku bermanfaat?" ​

Contoh inspiratif: Bill Gates, kaya triliunan tapi filantropi miliaran. Di Indonesia, Chairul Tanjung dermawan via CT Corp Foundation. Atau pejabat seperti Mentri Agama yang ingatkan kekayaan sebagai ujian. Mereka paham: harta bukan milik, tapi titipan. Kemiskinan Ustadz Felix Siauw gambarkan sebagai "sekolah sabar terbaik." Jabatan? Mujica (Presiden Uruguay) tidak mengambil banyak keuntungan dari jabatannya sebagai presiden. Ia menyumbangkan 90% gajinya untuk masyarakat miskin di Uruguay. Selain itu, pemimpin yang akrab disapa El Pepe ini juga memilih tidak tinggal di istana presiden dan justru menempati rumah sederhana bersama istrinya, Lucia Tapolansky.

Dampak positif sikap ini luar biasa. Masyarakat harmonis: kaya bantu miskin, hilang kesenjangan. Pemimpin adil: jabatan jadi pelayanan, bukan alat tirani. Akhirat tenang: amal jariyah mengalir. Tantangan? Godaan syaitan: kaya pelit, miskin putus asa, berpangkat korup. Solusi? Perbanyak istighfar, sholat tahajud, lingkungan shaleh.

Bayangkan negeri di mana kaya tak sombong, miskin tak putus asa, pejabat tak haus kuasa. Itulah surga duniawi. Di akhirat, timbangan amal penuh: sedekah kaya jadi naungan, sabar miskin jadi syafaat, amanah jabatan jadi syurga. Harta, kemiskinan, pangkat—semua ujian. Lulus? Surga. Gagal? Penyesalan dan di neraka abadi.

Sebagai penutup, mari renungkan QS Al-Mulk:2, "Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa yang terbaik perbuatannya." Kekayaan uji kedermawanan, kemiskinan uji kesabaran, jabatan uji integritas. Sikap terbaik: rendah hati, bertanggung jawab, ikhlas karena Allah. Dunia pinjam, akhirat milik. Jadikan harta tangga surga, jabatan ladang pahala, kemiskinan batu loncatan ridha Ilahi. Hidup indah bukan karena banyak harta, tapi hati yang kaya iman. ​(*) 

Posting Komentar untuk "Harta, Jabatan, dan Ujian Abadi: Kekayaan Bukan Tujuan, Tapi Tanggung Jawab Menuju Akhirat"