Santri: Paku Negeri, Pesantren Pilar NKRI (Refleksi Hari Santri, 22 Oktober 2025)

  

         Oleh : Kamaruddin Hasan*

Pesantren adalah laboratorium kebangsaan yang lahir jauh sebelum Republik ini berdiri. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan keagamaan, tetapi merupakan rahim sejarah yang melahirkan generasi pejuang, pemikir, dan pengabdi bangsa. 

Dari bilik-bilik pesantren yang sederhana, lahir denyut nadi keislaman yang menyatu dengan nasionalisme; dari pengajian kitab kuning hingga doa di malam hening, tumbuh sebuah kesadaran kolektif bahwa menjaga agama adalah menjaga negeri.

Daya Tahan Pesantren dalam Arus Zaman

Sejarah mencatat, tidak ada satu fase pun dalam perjalanan bangsa ini tanpa jejak pesantren. Di masa kolonial, pesantren menjadi benteng resistensi terhadap penjajahan, melahirkan tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim ulama yang memadukan keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas perjuangan. 

Di masa kemerdekaan, pesantren bertransformasi menjadi pusat pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Kini, di era digital yang penuh turbulensi informasi, pesantren kembali diuji: menghadapi fitnah, disinformasi, serta isu-isu tak populer yang mencoba menggoyahkan fondasi kepercayaannya.

Namun, sebagaimana akar bambu yang kian kuat saat tertimbun tanah, pesantren justru tumbuh makin kokoh di tengah tekanan zaman. Kekuatan itu terletak pada tiga hal: tradisi, keteladanan, dan keberkahan.

 Tradisi menjaga kesinambungan ilmu, keteladanan menjaga moral dan adab, sementara keberkahan menjaga ruh perjuangan agar tetap tulus dan istiqamah. Dunia boleh berubah, tetapi nilai-nilai pesantren tetap menjadi jangkar moral di tengah lautan modernitas yang bergelombang.

Fitnah dan Isu Tak Populer: Ujian Abadi Keteguhan Pesantren

Setiap zaman membawa fitnahnya sendiri. Jika dahulu pesantren dituduh kolot, kini ia dihadapkan pada stereotip anti-modern, intoleran, atau terpinggirkan dari arus kemajuan teknologi. Namun sejarah membuktikan: tuduhan itu selalu patah di hadapan kenyataan. Banyak inovasi pendidikan lahir dari rahim pesantren; banyak santri kini menjadi ilmuwan, birokrat, diplomat, bahkan pengusaha global tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Pesantren mampu bertahan karena ia tidak mendasarkan eksistensinya pada tren, melainkan pada nilai. Ia tidak sibuk membangun citra, tetapi membangun karakter. Ia tidak terpesona pada dunia, tetapi berkhidmat kepada kemanusiaan. Dalam bahasa moral, pesantren bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan madrasah peradaban.

Kiai: Sumber Ilmu dan Cahaya Peradaban

Dalam sistem nilai pesantren, kiai bukan hanya guru, tetapi juga murabbi pembina ruhani dan akhlak. Figur kiai adalah sumber ilmu sekaligus mata air kebijaksanaan. Ia memimpin dengan teladan, bukan dengan perintah. Ia mengajarkan kesabaran di tengah kesulitan, kemandirian di tengah kekurangan, dan keikhlasan di tengah cibiran. Dari kiai, santri belajar makna mendalam tentang perjuangan tanpa pamrih, tentang ilmu yang tidak hanya dihafal, tetapi dihidupi.

Kiai adalah penjaga mata rantai keilmuan yang bersambung sampai Rasulullah ﷺ. Dalam dirinya menyatu otoritas ilmu, moral, dan spiritual. Karenanya, di tengah derasnya arus informasi tanpa sanad, sosok kiai menjadi mercusuar yang menjaga arah. Keberadaan mereka adalah bukti bahwa pengetahuan sejati selalu disertai adab.

Santri: Paku Negeri, Penjaga Nilai

Santri adalah paku negeri menancap kuat di tanah kebangsaan, menegakkan bangunan nilai yang menyangga rumah besar Indonesia. Ia belajar taat, tetapi juga berpikir kritis; tunduk kepada ilmu, namun tidak kehilangan nalar sosial. Santri adalah wajah Islam yang teduh, inklusif, dan solutif yang mengajarkan bahwa beragama tidak harus berjarak dengan kemanusiaan.

Hari Santri bukan sekadar peringatan historis, melainkan momentum reflektif bahwa pengabdian santri terhadap bangsa belum selesai. Mereka hadir di kelas-kelas pendidikan, di kantor pemerintahan, di tengah masyarakat digital, bahkan di ruang-ruang dialog global. Namun di manapun ia berada, seorang santri sejati selalu membawa nilai: adab, kejujuran, cinta tanah air, dan kesetiaan kepada kemanusiaan universal.

Pesantren dan Masa Depan Bangsa

Dalam konteks kekinian, ketika dunia mengalami krisis moral dan disrupsi nilai, pesantren kembali menjadi jangkar stabilitas sosial dan spiritual bangsa. Pesantren tidak hanya bertugas melahirkan ahli agama, tetapi juga manusia beradab yang mampu menafsirkan nilai ilahi dalam konteks kemanusiaan modern.

Maka, Hari Santri 2025 ini seyogianya menjadi momentum untuk menegaskan kembali peran pesantren sebagai pilar kokoh NKRI bukan karena retorika, melainkan karena kontribusi nyata yang telah, sedang, dan akan terus ia berikan. Pesantren telah teruji oleh zaman, santri telah menulis sejarah dengan pengabdian, dan kiai tetap menjadi suluh di tengah gelapnya fitnah.

Selama pesantren hidup, Indonesia akan tetap punya rumah moralnya.

Selama santri berjuang, bangsa ini akan tetap punya paku yang menegakkan tiangnya.

Dan selama kiai berdoa, negeri ini akan selalu dijaga oleh cahaya ilmu dan keberkahan.

*Penulis : Dosen Universitas Negeri Makassar, Pengurus Darud Dakwah wal Irsyad (DDI).

Posting Komentar untuk "Santri: Paku Negeri, Pesantren Pilar NKRI (Refleksi Hari Santri, 22 Oktober 2025)"