Di belahan barat Kabupaten Barru, terbentang sebuah pulau kecil yang seolah menahan waktu untuk tetap berjalan pelan.
Namanya Pulau Panikiang, bagian dari wilayah administratif Desa Madello Kecamatan Barru, sebuah titik di peta yang sederhana, namun menyimpan kisah besar tentang sejarah, kehidupan, dan harmoni alam.
Dari kejauhan, Panikiang tampak biasa: gugusan hijau di tengah laut, dikelilingi air jernih dan ombak kecil yang menepi lembut. Tapi begitu menjejakkan kaki, suasana berubah. Angin laut membawa aroma garam bercampur daun bakau, suara burung bangau terdengar bersahut, dan dari sela pepohonan rimbun, suara kelelawar menggema pertanda bahwa kehidupan di pulau ini tidak pernah benar-benar sunyi.
Panikiang bukan hanya rumah bagi nelayan, tapi juga saksi sejarah perjuangan bangsa dimana pada Tahun 1946, ketika Indonesia baru saja merdeka, Mayor Andi Mattalatta utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman menempuh perjalanan berbahaya menuju Konferensi Paccekke untuk membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Sulawesi Selatan.
Dalam perjalanan itu, Panikiang menjadi tempat persinggahan rahasia.
Untuk menghindari kejaran tentara NICA, sang pejuang besar itu menyamar sebagai nelayan. Ia berbaur dengan warga, ikut melaut, menambatkan perahu, dan dari pulau kecil inilah ia kembali menyusun langkah besar perjuangan bangsa.
Cerita itu diwariskan dari mulut ke mulut. 'Mungkin' tidak tercatat di buku sejarah resmi, tapi hidup dalam ingatan masyarakat Panikiang.
“Dulu katanya Pak Andi Mattalatta sembunyi di sini untuk menghindari kejaran musuh. Orang tua kami yang bantu sembunyikan.Pulau ini jadi saksi, tapi juga penjaga rahasia.” ujar seorang warga tua sambil menatap laut.
Keberadaan pulau ini juga menyuguhkan keindahan alami. Jika siang datang, Pulau Panikiang adalah panggung bagi bangau putih. Burung-burung itu berbaris di tepian pantai, mencari ikan di air dangkal, atau bertengger di atas pohon mangrove. Mereka datang tiap pagi, seolah menjemput kehidupan baru.
Namun saat mentari turun, langit berubah warna. Dari pepohonan tinggi di tengah pulau, ribuan kelelawar keluar, membelah udara senja menuju cakrawala. Suara kepak sayap mereka berpadu dengan gemuruh ombak, menciptakan simfoni alam yang tak bisa diciptakan manusia.
Dua makhluk yang berbeda: satu hidup dalam terang, satu beraktivitas di kegelapan. Namun keduanya tidak saling mengganggu. Mereka berbagi ruang, berbagi langit, dan berbagi kehidupan.
Di situlah pelajaran Panikiang: alam tidak pernah salah dalam menyeimbangkan dirinya. Manusia lah yang sering lupa bagaimana cara hidup berdampingan.
Bagi Barru, Panikiang memiliki fungsi penting lain, ia menjadi benteng alami bagi Pelabuhan Laut Garongkong, salah satu pelabuhan strategis di Sulawesi Selatan.
Posisinya yang berhadapan langsung dengan laut lepas menjadikan pulau ini sebagai perisai dari terjangan ombak besar dan abrasi. Tanpa Panikiang, kawasan pelabuhan dan industri di pesisir bisa terancam oleh gelombang ganas.
“Kalau tidak ada Panikiang, mungkin pantai Garongkong sudah lama terkikis,” kata Azikin seorang nelayan di Garongkong.
Dengan kata lain, Panikiang bukan sekadar pulau kecil, keberadaannya adalah penjaga diam-diam bagi aktivitas ekonomi dan keseimbangan alam Barru.
Kini sekitar tujuh puluan jiwa penduduk masih setia dan tenang tinggal di Panikiang. Meski dengan sarana dan fasilitas seadanya. Rumah-rumah panggung berdiri di tepi pantai. Mereka hidup dari laut, menanam rumput laut, menangkap ikan, dan menjaga tradisi yang diwariskan leluhur.
Meski jauh dari hiruk-pikuk kota dan sinyal internet sering tak bersahabat, semangat warga Panikiang tak pernah padam. Mereka mencintai pulau kecil ini seperti mencintai rumah sendiri.
“Panikiang memang kecil, tapi kami bangga. Kami ingin dunia tahu, Panikiang bukan cuma pulau kosong. Di sini ada kehidupan, ada makna.” ujar Dedi Alamsyah, pemuda setempat yang kini aktif mendokumentasikan sejarah dan keindahan alam pulau lewat media sosial.
Namun, keindahan itu kini mulai terancam. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kekhawatiran akan perburuan kelelawar untuk diperdagangkan. Jumlahnya menurun, dan ekosistem perlahan berubah. Padahal, kelelawar punya peran penting dalam menjaga keseimbangan alam, membantu penyerbukan dan mengendalikan serangga malam.
Jika mereka hilang, tentunya rantai kehidupan di Panikiang ikut goyah.
“Pulau ini harus kita jaga bersama sebagai surga bagi bangau dan kelelawar yang hidup berdampingan. Jangan sampai Panikiang kehilangan ‘panning’-nya karena ulah manusia,” ungkap seorang tokoh masyarakat dengan nada tegas.
Panikiang adalah pelajaran sunyi tentang bagaimana manusia, sejarah, dan alam bisa berpadu dalam satu ruang kecil.
Setiap bangau yang terbang di pagi hari dan setiap kelelawar yang melintas di langit senja seolah membawa pesan yang sama: Bahwa kedamaian tak lahir dari keseragaman, melainkan dari kesediaan untuk hidup berdampingan.
Panikiang adalah rumah bagi bangau dan kelelawar, dua makhluk yang berbeda, tapi saling menghormati ruang hidupnya. Kini giliran manusia untuk belajar dari mereka.
Mari kita rawat dan kita jaga Panikiang, surga kecil di ujung Barru yang mengajarkan arti hidup berdampingan dalam damai.
Karena ketika harmoni hilang, bukan hanya Panikiang yang kehilangan “panning”-nya, tapi juga kita manusia yang lupa pada jati diri sebagai penjaga kehidupan. Salamakki Tapada Salama.
Barru, 19 Oktober 2025.
Posting Komentar untuk "Pulau Panikiang: Harmoni Alam, Jejak Pejuang dan Benteng Sunyi Barru"