Malam itu, Desa Paccekke dipenuhi cahaya lampu seadanya. Usai Magrib, warga berduyun-duyun memenuhi lapangan desa.
Suara alu yang menghentak lesung dalam irama Mappadendang berpadu dengan gelak tawa anak-anak, menandai dimulainya kembali salah satu tradisi luhur masyarakat Bugis: Mattojang.
Mattojang, yang berarti bermain ayunan, telah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Paccekke setiap kali musim panen usai. Lebih dari sekadar hiburan rakyat, tradisi ini sarat makna filosofi—doa, harapan, sekaligus ungkapan syukur atas rezeki yang diberikan Sang Pencipta.
Sejak 31 Agustus 2023, Mattojang resmi tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ciri khas Mattojang adalah ayunan raksasa yang dibuat dari kayu atau bambu, dengan tali kulit kerbau yang diyakini memiliki kekuatan simbolis dan spiritual. Ayunan ini dibangun secara gotong royong, lalu dimainkan bergantian oleh warga, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Pada perhelatan kali ini, hadir langsung Bupati Barru, Andi Ina Kartika Sari, S.H., M.Si., bersama Wakil Bupati, Dr. Ir. Abustan A. Bintang, M.Si., serta jajaran pemerintah daerah. Kehadiran mereka disambut hangat oleh masyarakat yang telah lama menanti.
Tak sekadar menyaksikan, Bupati pun ikut mencoba uji nyali menaiki ayunan Mattojang. Perlahan, tali ditarik, kayu bergoyang, hingga ayunan menjulang tinggi menembus langit malam. Sorakan warga pun pecah, tawa anak-anak bersahut-sahutan, menyulut suasana penuh kegembiraan.
Aksi berani itu semakin lengkap ketika Wakil Bupati dan Pj. Sekda Barru juga ikut tertantang menaiki Mattojang, menambah riuh tepuk tangan masyarakat.
Bupati Barru menyampaikan rasa bangga dan apresiasinya kepada masyarakat Paccekke yang masih menjaga tradisi luhur ini.
“Mattojang bukan sekadar hiburan, melainkan warisan berharga yang mengandung nilai kearifan lokal. Dengan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda, kewajiban kita bersama adalah menjaganya agar tetap hidup dan diwariskan kepada generasi muda,” ujar Bupati dalam sambutannya.
Bupati menambahkan, tradisi ini mencerminkan nilai kebersamaan dan gotong royong yang tak boleh hilang.
“Kebudayaan adalah jati diri kita. Mattojang dan Mappadendang lahir dari kebersamaan, dan dengan kebersamaan pula kita bisa menjaganya tetap lestari,” ucapnya.
Kepala Desa Paccekke, M. Dahlan menyampaikan terima kasih dan rasa syukur atas dukungan pemerintah.
“Sejak dulu Mattojang bukan hanya permainan, tapi doa dan harapan agar hidup masyarakat diberkahi. Kami bangga karena pemerintah hadir mendukung pelestarian tradisi ini. Semoga anak cucu kita terus mengenalnya,” ungkapnya.
Malam semakin larut, namun riuh suara alu dan sorakan warga tak kunjung reda. Di bawah cahaya lampu desa, Mattojang terus berayun, bukan sekadar permainan, melainkan simbol persaudaraan, rasa syukur, dan kebanggaan budaya yang menjadi identitas Barru. (SM)
Posting Komentar untuk "Bupati Barru Uji Nyali: Mattojang, Ayunan Tradisi yang Menjaga Kebersamaan"