Oleh: Sudarto (Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar)
Di penghujung 2025, saat lampu-lampu kota berkelap-kelip menyambut malam akhir tahun, hati sering bertanya: sudah benarkah pola hidup kita sekarang ini? Bayangkan jalanan ramai di mana orang-orang berlalu lalang, tapi tatapan saling hindar dan cemberutan. Yang kaya semakin kaya, menggelar pesta mewah di balik tembok tinggi. Yang miskin semakin terpinggirkan, merangkak di pinggir trotoar sambil menatap bayangan kemewahan itu dari kejauhan. Sapaan pun hanya lahir saat ada transaksi—bayar belanja, tukar koin, atau sewa parkir lalu mundur lagi ke dunia masing-masing. Saling cuek jadi gaya baru. Yang kaya enggan menyapa yang miskin, takut tercemar debu jalanan. Yang miskin malu menyapa yang kaya, merasa rendah di hadapan kilau jam tangan dan sepatu mahal. Bahkan sesama kaya jarang ngobrol panjang, karena satu sama lain dianggap saingan diam-diam—siapa yang mobilnya lebih kinclong, rumahnya lebih megah. Jadi, kapan mau ngobrol sesama manusia? Ironi kehidupan ini menyengat: kita diciptakan untuk bersatu, tapi hidup seperti pulau-pulau terpisah. Ini rancangan Tuhan yang harus diterima begitu saja, atau luka yang bisa diperbaiki tangan manusia sendiri? Refleksi akhir tahun ini mengajak kita merenung dalam diam malam Tahun Baru yang setiap tahun menyapa dan menanyai kita.
Hidup modern seperti roda yang berputar kencang, tapi meninggalkan banyak orang di belakang. Dulu, di kampung-kampung Indonesia, tetangga saling sapa di pagi hari, berbagi nasi kuning saat Idul Fitri, atau gotong royong bersihkan got bahkan bangun jembatan dan rumah. Kini, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya atau Makassar, pagar rumah makin tinggi, mobil berlapis kaca gelap, dan obrolan diganti swipe layar ponsel. Yang kaya tak lagi melihat yang miskin sebagai saudara seperjuangan, melainkan bayangan yang mengganggu rutinitas mewah mereka. Mereka sibuk membangun kerajaan bisnis, tapi lupa bahwa kekayaan sejati lahir dari tangan-tangan yang bekerja sama. Yang miskin, di sisi lain, terjebak rasa malu yang membatu. Mereka menghindari tatapan kaya karena takut ditolak, takut dianggap pengemis, padahal hati mereka haus akan satu kata sederhana: "halo, apa khabar".
Ironi ini makin pilu saat sesama kaya pun saling curiga. Di pesta eksklusif, senyum tipis dan obrolan ringan menyembunyikan pikiran licik: "Dia pasti lagi ekspansi bisnis nih, jangan sampai kalah gue." Persaingan jadi racun yang meracuni persaudaraan. Tak heran kalau akhirnya tak ada lagi ruang untuk ngobrol tulus—semua jadi transaksional, dingin seperti angin malam Desember. Ini pola hidup yang kita warisi dari zaman industri, di mana sukses diukur dari dompet tebal, bukan hati yang hangat. Tapi, benarkah ini sudah sempurna? Atau hanya jebakan yang kita ciptakan sendiri? Ini perlu diubah!
Refleksi akhir tahun 2025 ini seperti cermin buram yang memantulkan wajah kita yang lelah. Kita sering menyalahkan sistem: ekonomi pasar bebas yang membuat yang kuat makin kuat, teknologi yang memisahkan kita lewat layar, atau urbanisasi yang merobek ikatan kampung. Memang, pasar modern seperti hutan belantara di mana singa memakan domba—yang punya modal menang besar, yang tak punya tersingkir dan tersungkur. Tapi, jangan buru-buru tuduh Tuhan sebagai arsitek ironi ini! Dalam ajaran Islam yang kita anut mayoritas di Indonesia, Al-Quran mengingatkan dalam Ar-Ra'd ayat 11: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka (sendiri) mengubah keadaan yang ada pada diri mereka." dan surah Al-Hujurat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling mengolok-olok" Ini bukan rancangan ilahi untuk memisahkan, melainkan ujian bagi manusia untuk membangun jembatan. Tuhan ciptakan kita dari tanah liat yang sama, kaya miskin hanyalah peran sementara di panggung dunia. Ironi lahir dari pilihan kita: lupa bahwa kekayaan hanyalah amanah, bukan hak mutlak. Hidup kita manusia ini tergantung bagaimana kita sebagai manusia merancangnya.
Filsuf Yunani Aristoteles pernah bilang kebahagiaan sejati ada di kehidupan bermasyarakat, bukan kesendirian. Di Indonesia, nilai gotong royong yang kita banggakan sejak zaman kemerdekaan, kini sudah terkikis. Dulu, di desa-desa Sulawesi, kaya dan miskin duduk bersama di tepa rumah, berbagi cerita sambil minum kopi pahit berdamping singkong rebus. Kini, di perumahan elit Makassar, gerbang dengan otomatis menutup rapat, memisahkan dunia kehidupan nyata. Yang miskin di pinggiran sungai menggelar tikar rongsokan penuh kumal, menatap gedung tinggi dengan iri. Tapi, ini bisa diubah. Bukan dengan revolusi besar, tapi langkah kecil yang manusiawi: sapa dulu tetangga berkendara di jalan, ajak ngobrol tukang ojek, bagi waktu untuk dengar cerita dengan karyawan atau buruh pabrik. Di masjid-masjid kita, shalat berjamaah, sisahkan waktu lima menit ngobrol, kaya-miskin menyatu dalam satu saf—kenapa tak dilanjutkan di luar pintu masjid? Kita mulai sekarang, susana indah di masjid dilanjutkan di luar masjid.
Bayangkan sebuah pasar tradisional di mana pedagang kaya membeli dagangan si miskin bukan hanya untuk untung, tapi untuk cerita. "Bagaimana panen tahun ini, pak bu?" tanya si kaya sambil tersenyum tulus. Uang kembalian pun tak diambil lagi, sedekahkan. Si miskin balas, "Alhamdulillah, kalau Bapak ajak kerjasama, bisa lebih baik, nih." Tak ada lagi cuek, tak ada malu. Sesama kaya pun bisa ubah pola: ganti kompetisi jadi kolaborasi, seperti pengusaha lokal yang bentuk koperasi bareng, saling bagi ilmu bisnis daripada iri hati. Ini bukan mimpi utopia, tapi kembalinya esensi hidup: hubungan antarmanusia yang hangat, bukan dingin transaksi kayak es beku. Kita mulai era baru hidup manusia yang sesungguhnya. Yang kaya bahagia, yang miskin bahagia, yang pejabat bahagia, yang jelata pun bahagia,. Inilah surga yang setiap hari manusia pinta. Kita wujudkan di tahun 2026.
Sekali lagi renungkan ini: Di tengah gemerlap akhir tahun, saat kita hitung pencapaian 2025—mobil baru, promosi jabatan, atau sekadar bertahan hidup—mari tanyakan: sudahkah kita kaya akan sahabat? Sudahkah kita hapus batas kaya-miskin dengan sapaan sederhana? Ironi ini bukan takdir abadi. Manusia punya kuasa perbaiki: mulai dari keluarga, di mana orang tua ajar anak sapa semua orang tanpa pandang bulu. Di komunitas, bangun kelompok belajar bersama, kaya ajari skill digital ke miskin, miskin bagi kearifan lokal. Di pemerintahan, kebijakan inklusif seperti program pelatihan kerja bisa jadi jembatan, asal dilengkapi budaya saling peduli. Nilai Islam beri panduan indah: Rasulullah SAW bersapa anak kecil di pasar, bagi kurma dengan budak, dan tegur sahabat kaya agar jangan sombong. Ini teladan bahwa perubahan dimulai dari hati. Di Indonesia yang mayoritas muslim, masjid bisa jadi pusat: kajian mingguan bukan hanya ceramah, tapi dialog kaya-miskin. Karang taruna bisa hidup lagi, bukan pesta tapi bakti sosial lintas kelas. Teknologi pun bisa bantu: grup WhatsApp tetangga untuk saling jaga, bukan gosip.
Akhir 2025 ini, saat bedug dan adzan Maghrib menggema, mari buang ironi itu. Hidup modern tak harus jadi penjara kesepian. Kita bisa ciptakan pola baru: kaya jadi pelindung, miskin jadi mitra, semua saling sapa tanpa syarat. Bukan rancangan Tuhan untuk terpisah, tapi panggilan-Nya agar kita satukan. Tahun baru 2026 bisa lahir dengan obrolan tulus di warung kopi, gotong royong di gang sempit, dan persaudaraan yang utuh. Ironi hari ini adalah pelajaran besok: manusiawi atau bukan, perubahan ada di tangan kita. Mari mulai dengan senyum pagi ini—sapa siapa saja, dan lihat dunia pun berubah.(*)
Posting Komentar untuk "Sudah Benarkah Hidup Modern Kayak Gini: Si Kaya Makin Tajir, Si Miskin Makin Terusir, Manusiawi atau Ironi yang Bisa Diubah? (Refleksi Akhir Tahunan)"