Oleh: Sudarto (Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar)
Indonesia, negeri subur yang diberkahi alam megah, sering dihantam bencana—gempa mengguncang, banjir meluap, longsor menelan desa. Bukan sekadar amarah alam, tapi panggilan Tuhan agar kita sadar: menjauhkan negeri tercinta dari musibah memerlukan implementasi nilai-nilai religius secara nyata dan menyeluruh.
Spiritualitas bukan lagi kata manis di mimbar, melainkan aksi harian yang menyatukan hati bangsa. Dari sila pertama Pancasila hingga taubat nasional, inilah jalan kita membangun perisai ilahi demi Indonesia lestari.
Bayangkan sebuah rumah tangga harmonis di mana setiap anggota saling tolong-menolong, tak ada yang merusak pondasi demi keuntungan sesaat.
Begitulah Indonesia harusnya: bangsa yang taat pada Tuhan, menjaga alam sebagai amanah-Nya. Saat nilai religius dihayati sungguh-sungguh, bencana bukan lagi takdir mutlak, tapi pelajaran yang bisa kita minimalisir dengan tangan dan hati yang bersih.
Spiritualitas Nyata: Jiwa Bangsa yang Bersatu dengan Tuhan.
Spiritualitas adalah napas kehidupan religius yang menghidupkan segala tindakan. Di Indonesia, mayoritas muslim dengan nilai gotong royong dari berbagai agama, spiritualitas berarti mengamalkan ajaran Tuhan secara holistik—bukan ritual doang, tapi gaya hidup. Renungkan Al-Quran: "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya" (QS. Al-A'raf: 56). Saat banjir datang, bukan hanya doa, tapi aksi: membersihkan sungai bersama, menanam mangrove di pantai, merawat hutan dari kepunahan, menggunakan hasil hutan untuk kemaslahatan umat, menebang pepohonan sewajarnya, dan shalat taubat atau solat hajad dengan ikhlas.Implementasi nyata dimulai dari diri: bangun pagi untuk tahajjud memohon lindungan, lalu ikut reboisasi hutan. Di desa-desa Sumatera Barat atau Aceh yang rawan longsor, adakan komunitas masjid rutin gotong royong bangun tanggul alami sambil zikir bersama. Hasilnya? Insyalallah bencana berkurang, hati tenang. Spiritualitas menyeluruh berarti sekolah ajarkan anak tadabbur alam sebagai ciptaan Allah, kantor gelar kajian lingkungan berbasis agama. Ini bukan utopia; ini Pancasila hidup yang religius.
Sila Pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Aksi
"Ketuhanan Yang Maha Esa" bukan sekadar kalimat pembuka, tapi perintah beramal saleh.
Implementasikan dengan nyata: tolak proyek tambang liar yang merusak sungai, dukung pertanian organik sebagai ibadah menjaga nikmat Allah. Di Kalimantan, masyarakat adat Dayak terapkan sila ini dengan ritual syukur panen sekaligus larang penebangan hutan berlebih—alam lestari, rezeki lancar.Bayangkan pemerintah terapkan audit spiritual: setiap izin usaha wajib sertifikat "ramah alam dan religius", lengkap program restorasi. Perusahaan tambang wajib tanam 10 pohon per satu tebangan, plus dana zakat untuk korban bencana. Ini menyatukan umat—Islam, Kristen, Hindu, Budha bersatu bangun ikatan persaudaraan di zona rawan gempa dengan standar anti-bencana,. Sila pertama jadi benteng: taat Tuhan, alam pun taat.
Taubat Nasional: Bersihkan Dosa Bangsa dari Akar
Bencana sering jadi cambuk taubat. Saatnya taubat nasional—bukan seremoni tahunan, tapi gerakan massal dari presiden hingga rakyat kecil. Siapa saja yang berbuat salah—pejabat korupsi dana reboisasi, pengusaha rusak hutan demi sawit, warga buang sampah sembarangan—harus tobat secara terbuka.
Bayangkan sidang taubat di Tugu Monas: pemimpin akui dosa, minta maaf publik, lalu komitmen perbaiki.Taubat nyata berarti restitus: perusahaan pencemar bayar denda untuk pulihkan ekosistem, koruptor kembalikan uang untuk bendungan anti-banjir. Di Aceh pasca-tsunami, taubat kolektif lahirkan masjid-masjid kokoh dan budaya sadar bencana.
Nasionalkan ini: Hari Taubat Indonesia setiap 12 Desember, lengkap pengampunan bagi yang ikhlas berubah. Allah janjikan: "Barangsiapa bertaubat dan berbuat kebajikan, maka sesungguhnya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya" (QS. Al-Furqan: 71).
Larang Perusahaan Rusak Tanpa Pulihkan: Hukum Amanah Ilahi.
Jangan lagi izinkan perusahaan yang merusak alam tanpa membangunnya kembali! Ini pelanggaran berat amanah Tuhan.
Tambang emas hancurkan sungai? Wajib restorasi total—tanam hutan, bersihkan air, libatkan warga lokal. Tanam sawit, bakar lahan? Hukum berat plus program tanam ulang 2x lipat. Pemerintah terapkan "zero tolerance": izin usaha wajib ikat kontrak restorasi dengan jaminan bank, awasi ketat via satelit dan ulama lokal.Nasionalkan: undang-undang "Amanah Religi Lingkungan", kolaborasi Kementerian Agama dan Lingkungan Hidup.
Perusahaan taat dapat insentif pajak, pelaku rusak blacklist selamanya. Ini bukan anti-bisnis, tapi pro-keadilan: jauhkan untung sementara, tapi rugi abadi.
Gerakan Bersama: Dari Rumah Tangga ke Negara.
Menjauhkan bencana butuh gerakan menyeluruh. Mulai rumah: keluarga tanam pohon di halaman, ajar anak "alam milik Allah". RT/RW gelar karang taruna religius untuk bersih sungai. Ulama naik mimbar: khutbah Jumat khusus anti-bencana. Pemerintah: kurikulum sekolah wajib "Ekologi Religius", dana APBN prioritas bendungan dan early warning system.
Pasca-gempa, jadikan masjid posko bantuan spiritual—dzikir bareng korban, lahirkan ketangguhan. Replikasikan nasional: aplikasi "Taubat Bangsa" untuk lapor pelanggaran lingkungan, beri reward bagi pelapor. Media promosi cerita sukses: misal, desa di suatu wilayah nol banjir karena shalat dan gotong royong alam sekitar.
Harapan Cerah: Indonesia di Pelukan Ilahi.
Dengan nilai religius nyata, Indonesia akan jauh dari bencana. Spiritualitas jadi perisai, sila pertama pondasi, taubat pembersih, larangan rusak hutan sebagai tameng. Bayangkan 2045: negeri bebas longsor, sungai jernih, hutan hijau—semua karena bangsa taat. Tuhan berfirman: "Dan jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membuka baginya pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi" (QS. Al-A'raf: 96).Mari, anak bangsa! Peluk Indonesia dengan iman, jauhkan bencana dengan amal. Taubat hari ini, lestari besok. Bersama, kita bangun negeri di bawah naungan-Nya—Indonesia maju, religius, aman selamanya.(*)
Posting Komentar untuk "Peluk Indonesia dengan Nilai Religi: Benteng Spiritual Menjauhkan Bencana Nasional"