Oleh : Sudarto
Bayangkan ini: Anda lapar mata di mal ramai kota besar, tas belanja sudah penuh dengan baju baru, makanan ringan, dan hadiah akhir tahun. Tapi saat hendak pulang, dompet tipis lagi gara-gara bayar parkir. "Lima ribu di sini, sepuluh ribu di sana," gumam Anda kesal. Hidup modern yang katanya maju justru makin sulit, makin rumit—bahkan urusan parkir saja bikin pusing. Di Jakarta, Makassar, atau Surabaya, parkir tak lagi sekadar singgah kendaraan. Ia jadi labirin kartu elektronik, antrean panjang, dan tukang parkir yang menagih dengan tatapan tegas. Parkir berubah jadi bisnis paksaan, padahal seharusnya gratis. Kita sudah keluarkan uang untuk belanja, bensin, dan waktu berharga—kenapa harus ditambah beban parkir lagi? Refleksi akhir 2025 ini mengajak kita renungkan: bukankah parkir gratis justru pacu omset pedagang, lancarkan barang terjual, dan bikin semua nyaman?
Hidup di kota besar seperti menari di atas tali tipis. Semua serba cepat, serba digital, tapi urusan dasar malah tambah ribet. Dulu, parkir di pinggir jalan atau depan toko hanyalah basa-basi ramah: "Makasih ya, Pak," sambil kasih uang receh sukarela. Kini, di pusat perbelanjaan modern, Anda harus scan kartu, tunggu konfirmasi app, atau cari mesin koin yang sering rusak. Tukang parkir liar bermunculan seperti jamur hujan, menjaga lahan seadanya tapi menagih seolah lahan pribadi. Ini bukan kemajuan—ini rumit yang diciptakan manusia sendiri. Pedagang kecil di pinggir mal mengeluh: pembeli ogah singgah karena takut "dipaksa" bayar parkir mahal. Akhirnya, trotoar sepi, barang numpuk di rak, omset merangkak.
Ironi terbesar: parkir yang seharusnya fasilitas pendukung belanja malah jadi penghalang. Kita datang dengan mobil atau motor karena belanja besar-besaran—baju keluarga, perabot rumah, makanan stok mingguan. Bensin habis, waktu terbuang macet, tapi begitu tiba, eh malah disambut tagihan parkir. "Kita sudah bayar dengan belanja kita," kata seorang ibu rumah tangga di Makassar saat ngobrol di warung kopi. Benar sekali. Setiap rupiah yang kita belanjakan sudah jadi pendapatan pedagang, pajak daerah, dan roda ekonomi berputar. Parkir gratis bukan berarti rugi—ia seperti undangan hangat yang tarik lebih banyak pengunjung. Pedagang senang karena dagangan laku keras, pembeli senang karena hemat, dan kota pun hidup penuh berkah.
Bayangkan skenario indah: area parkir khusus di depan toko-toko, dijaga pegawai resmi 24 jam, gratis total. Tak ada lagi tukang parkir liar yang setoran ke bos gelap, tak ada lagi pungli terselubung. Pegawai parkir ini seperti satpam ramah: arahkan lahan rapi, jaga keamanan kendaraan, dan pastikan lalu lintas lancar. Pagi hari, mereka sambut pejalan kaki yang parkir motor untuk beli sarapan. Siang, bantu orang tua turun dari mobil untuk belanja sembako. Malam, kawal pesta akhir tahun tanpa khawatir kendaraan hilang. Tukang parkir diganti pegawai beruniform, dibayar gaji tetap dari dana daerah atau swadaya pedagang. Hidup mereka jadi berkah. Tak ada lagi setoran harian yang bikin mereka nekat tagih berlebih. Hasilnya? Belanja nikmat, barang lancar terjual, semua merasa nyaman seperti di rumah sendiri.
Ini bukan mimpi kosong. Di beberapa kota kecil Indonesia, pasar tradisional sudah coba model serupa: parkir gratis di lahan khusus, dijaga relawan karang taruna. Pedagang cerita, pengunjung naik deras karena tak was-was parkir. Di luar negeri, mal besar di Jepang atau Singapura terapkan parkir gratis—omset mereka melonjak karena orang betah berlama-lama. Di Indonesia, kenapa tak tiru? Pemerintah kota bisa alokasikan lahan parkir publik gratis dekat pusat belanja, dikelola Dinas Perhubungan. Pedagang berkontribusi via iuran bulanan kecil, jauh lebih murah daripada omset sepi gara-gara parkir mahal. Buat Slogan “Separuh lahan untuk Dagang, Separuhnya Untuk Parkir Gratis”. Konsumen? Mereka jadi raja: belanja sebisanya tanpa hitung-hitungan parkir lagi.
Rumitnya parkir ini lahir dari kekacauan sistem. Lahan terbatas di kota besar, tapi malah dikuasai preman atau bisnis swasta yang untung besar. Hasilnya, macet tambah parah, polusi naik, dan orang males keluar rumah. Hidup modern seharusnya bikin mudah, bukan tambah beban. Parkir gratis ubah itu semua: lancarkan arus orang dan kendaraan, kurangi stres harian, dan pacu ekonomi rakyat. Pedagang warung makan di pinggir jalan Makassar bilang, "Kalau parkir gratis, orang parkir lama, pesan nasi lebih banyak." Benar. Pembeli tak buru-buru pulang karena takut tagihan parkir, malah tambah belanja es krim atau camilan. Omset naik, lapangan kerja bertambah untuk pegawai parkir, dan kota jadi ramah.
Lebih jauh, ini soal kemanusiaan di balik hiruk-pikuk modern. Kita ciptakan kota untuk hidup nyaman, bukan untuk ribut soal receh parkir. Di penghujung 2025, saat kita renungkan tahun yang penuh tantangan—pandemi sisa, inflasi harga, banjir macet—parkir gratis bisa jadi langkah kecil tapi nyata. Mulai dari pasar rakyat: bangun kanopi parkir sederhana, pasang papan "Gratis untuk Pembeli". Libatkan RT dan RW untuk jaga bergantian. Pedagang besar di mal bisa ikut: promo "Belanja Minimal, Parkir Gratis" untuk tarik keluarga akhir pekan. Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan atau DKI Jakarta bisa jadi pelopor dengan regulasi wajib parkir gratis di zona komersial.
Bayangkan akhir tahun depan: trotoar ramai orang belanja tanpa cemas, anak muda nongkrong santai karena parkir aman gratis, pedagang tersenyum lebar hitung untung. Tak ada lagi cerita tukang parkir berantem pembeli, tak ada lagi mobil mogok cari lahan. Hidup modern tak lagi sulit atau rumit—ia jadi lancar seperti sungai deras. Parkir gratis bukan sekadar hemat receh; ia kunci naikkan omset belanja karena orang datang lebih banyak, belanja lebih banyak, dan cerita bagus nyebar mulut ke mulut. Pedagang untung besar, konsumen puas, pegawai parkir punya penghidupan layak.
Tapi ini butuh aksi sekarang. Pemerintah daerah, dengar suara rakyat: ganti bisnis parkir paksaan jadi layanan publik gratis. Pedagang, satukan suara untuk iuran bersama. Masyarakat, dukung dengan datang belanja lebih sering. Di Makassar yang kita cintai, dengan Pantai Losari ramai dan pasar segar, parkir gratis bisa jadi ikon baru: kota nyaman untuk semua. Bukan utopia—ini logika sederhana: fasilitasi parkir, nikmati omset meledak.
Akhir 2025, saat kembang api menyala, mari janji ubah yang kecil ini. Hidup modern tak harus rumit. Parkir gratis buka pintu kemudahan: belanja lancar, ekonomi bergulir, semua bahagia. Mulai besok, tolak pungli parkir—tuntut yang gratis dan tertib. Omset pedagang naik, kota hidup, hidup kita pun ringan. Ini bukan mimpi—ini jalan keluar dari kekacauan parkir yang melelahkan.
Penulis :Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar
Posting Komentar untuk "Parkir Gratis: Kunci Sederhana Naikkan Omset Belanja dan Hilangkan Rumitnya Hidup Kota!"