Kurikulum Anti Kekerasan, Lahirkan Pemimpin Berhati Emas dari Tengah Badai Tawuran: Generasi Emas Bermula?

     Oleh: Sudarto (Dosen PGSD FIP                  Universitas Negeri Makassar)

Di bawah langit senja yang merona jingga, sekelompok remaja seharusnya berjalan pulang sambil tertawa riang, berbagi cerita hari itu. Namun, realitas sering kali menyayat hati: jeritan, darah, dan sirene ambulans memecah damai.

Tawuran pelajar bukan sekadar berita pagi, tapi luka bangsa yang menganga lebar. Mengapa generasi muda, yang seharusnya pemimpin masa depan, malah terjebak siklus kekerasan? Jawabannya ada di kurikulum: Kurikulum Anti Kekerasan, merajut persaudaraan di tengah badai tawuran, menuju generasi penuh empati yang lahirkan pemimpin berhati—pemimpin yang pilih tangan terulur daripada tinju, kerja sama daripada konflik. ​

Sekolah adalah taman harapan, bukan arena gladiator. Tawuran bukan nasib, tapi kegagalan sistem. Kurikulum lama tanam pikir tapi abaikan hati: siswa hafal sejarah tapi lupa persaudaraan, pintar hitung tapi buta empati. Hasilnya? Konflik kecil jadi ledakan emosi, sekolah rivalitas bukan saudaraan. Padahal, pendidikan sejati bentuk jiwa: ajar saling tolong, bukan saling hantam. Di Kurikulum Merdeka Berketuhanan, deklarasi Tangerang (24-25 November 2025) jadi contoh nyata—1.000 pelajar ikrar damai, bagian implementasi karakter dan empati.

Kurikulum Anti Kekerasan naik level: integrasikan nilai persaudaraan ke setiap napas sekolah, kelak lahirkan pemimpin yang berhati lembut tapi teguh. ​Bayangkan pagi sekolah: siswa lingkar "Sirkel Hati", bagiin senyum dan cerita. "Hari ini aku bahagia karena..." dengar tanpa judge, guru fasilitasi empati. Matematika jadi "Bagi Rasa": bagi kue adil, pelajari kerakyatan. IPA "Rantai Hidup": tumbuh saling bantu antar manusia. Bahasa bangun "Kisah Saudara": tulis cerita gotong royong. Setiap pelajaran rajut benang persaudaraan dan kedamaian.

Persaudaraan diperkuat aksi. "Teman Sejati Challenge": tukar kelas seminggu, kenal cerita teman beda latar—dari kampung nelayan ke kota metropolitan. "Rantai Tolong": satu tolong teman, teman tolong lain, lingkar tak putus. Klub "Pemimpin Damai" rekrut pionir: mediasi anti ribut, fasilitasi dialog, rayakan "Bulan Nol Konflik, Non Tawuran". Empati lahir dari pengalaman. Roleplay "Posisi Lain": alami korban, pelaku, saksi—pahami luka dari segala sudut. "Jurnal Hati": tulis perasaan, bagiin anonim, guru beri umpan balik kasih. Olahraga "Tim Harmoni": sepak bola pasrahkan bola, belajar percaya. Musik "Nada Bersama": vokal beda jadi symphony indah. Hasil? Siswa paham: "Kemenangan bukan milikku, tapi milik kita". Saling tolong jadi napas sekolah. "Bank Bantu": daftar skill—gambar, ajar gitar, bantu PR. Tukar poin untuk hadiah sekolah. "Hari Majukan Teman": tugas harian dorong prestasi teman. Deklarasi “Kita Damai, Ayok Salin Bantu” lahirkan agen perubahan sejati—pelajar pionir anti kekerasan di sekolah masing-masing.

 Proyek "Sekolah Saudara": kolab antarsekolah, tukar pengalaman, bangun jembatan persahabatan. ​Guru arsitek pemimpin berhati. Training "Coach Empati": dengar aktif, bahasa tubuh positif, mediasi non verbal. Nilai holistik: 40% dari kontribusi sosial—tolong teman, mediasi damai. Orang tua ikut: workshop "Parenting Persaudaraan", kelas ajar empati rumah. Komunitas dukung: Polri hukum mendidik, TNI kebangsaan dan persatuan, masyarakat gotong royong dan kedamaian. ​Manfaatnya gemilang. Tawuran anjlok, bahkan sirna. Siswa bersatu dan bahagia: stres turun, prestasi naik, lahir ahli di segala bidang. Masyarakat aman dan maju: generasi empati bentengi negeri. Menuju 2045, pemimpin berhati pimpin Indonesia damai—bukan tinju, tapi dialog; bukan hukuman tapi nasehat, bukan rival, tapi mitra. ​Tantangan? Pasti ada. Provokasi medsos, trauma masa lalu, "macho culture", “turunan dari senior ke yunior”. Solusi: literasi digital cegah hoax, literasi persaudaraan, putus mata rantai berpikir salah dari senior ke yunior, art therapy healing, kampanye "Pemimpin Lembut Kuat". Pihak terkait pantau medsos dan konselor sekolah yang terus ter up date.Bayangkan sekolah masa depan: pagi sapa hangat; “selamat pagi Bu” terdengar di seluruh halaman sekolah; ruang-ruang kelas riuh gembira menyambut guru menyungging senyuman; anak-anak bersemangat menyambut materi yang bernuansa keimanan dan kedamaian; guru mengawali pembelajaran dengan wajah bersinar penuh energi; siswa menyimak guru dengan pikiran kuantum; saatnya istirahat mereka main bareng; konflik kecil selesai peluk; “terimakasih dan maafkan saya” kalimat yang selalu berdengung di telinga. Siswa menyapa guru dengan sopan: Iyye (Bugis), Inggih (Jawa), Jo (Minang), Ho (Batak), Nuhun (Sunda). Guru bangga, orang tua tenang, siswa pulang ceria dan cerita indah, pemerintah tenang pembangunan jalan terus. Hidup penuh persaudaraan: tawuran ganti gotong, kekerasan ganti kasih. Pemimpin masa depan: berhati emas, tangan terulur, anti dendam, anti sakit hati, visi majukan semua.Kurikulum Anti Kekerasan blueprint nyata. Deklarasi “Damai” ala Tangerang jadi gerakan nasional. Makassar pun siap menyusul. Kota lain siap dukung. Saatnya reformasi: ganti besi dengan hati, dendam dengan maaf, tawuran dengan seminar, perkelahian dengan diskusi ilmiah. Sekolah taman persaudaraan, lahirkan pemimpin berhati yang rajut Indonesia satu. Satu pelajaran, satu empati, satu persaudaraan, satu harapan—generasi emas dimulai dari sini. ​

Posting Komentar untuk "Kurikulum Anti Kekerasan, Lahirkan Pemimpin Berhati Emas dari Tengah Badai Tawuran: Generasi Emas Bermula?"