Oleh: Sudarto (Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar)
Bayangkan angin laut yang sepoi sepoi menyapa wajah, ombak biru bergulung lembut di bawah dek kapal, dan puluhan anak muda duduk berdekatan—berasal dari ujung timur Papua hingga barat Aceh Darussalam.
Di atas kapal penumpang yang meluncur menyatukan pulau-pulau Nusantara, ada momen ajaib: pertemuan tak terencana yang bisa merajut persatuan. Namun, ironisnya, suasana pelayaran sering kali tak memanfaatkan potensi ini. Ponsel mendominasi tangan, headphone menutup telinga, dan obrolan hangat antarpenumpang lenyap digantikan keheningan digital. Di tengah lautan yang menghubungkan, anak muda justru kehilangan kesempatan membangun jembatan hati dan induksi pemikiran.
Kapal bukan sekadar kendaraan laut, tapi panggung hidup yang unik. Berjam-jam perjalanan memaksa kita berbagi ruang sempit: dek ekonomi ramai dengan tas dan bekal, anak muda duduk lesehan sambil memandang horizon. Di sinilah lahir cerita indah—nelayan muda berbagi pengalaman badai, mahasiswa Papua cerita tarian adat, pemuda Jawa ajak nyanyi lagu daerah. Anak Sulawesi bercerita tentang Nenek Mallomo. Interaksi sosial seperti ini, menurut studi maritim, memperkuat kinerja kru dan kenyamanan bersama. Tapi realitasnya? Anak muda lebih sibuk scroll TikTok, main game, atau chat grup—melewatkan obrolan mata ke mata yang bisa lahirkan persahabatan seumur hidup.
Kenapa demikian? Suasana pelayaran yang kurang kondusif jadi biang kerok. Di kelas ekonomi kapal PELNI atau ASDP, penumpang berdesak-desakan, suara mesin menggelegar, dan fasilitas minim: colokan listrik sedikit yang terkadang mati pula, WiFi lelet, ruang duduk tak nyaman. Anak muda mundur ke "zona aman" ponselnya, hindari kontak fisik karena ruang terbatas. Di salah satu KM penghubung Sulawesi-Jawa, keluhan overcrowding membuat orang saling pandang curiga, bukan ramah. Padahal, pelayaran bisa jadi festival mini: kru fasilitasi ice-breaking, layar besar putar film nasional membangun persatuan, atau pojok cerita rakyat. Sayang, peluang ini terabaikan.
Lewatnya momen ini rugi besar bagi persatuan anak muda Indonesia. Lautan Nusantara alat pemersatu alamiah—kapal satukan orang dari berbagai latar, ciptakan empati lintas pulau. Bayangkan pemuda Makassar ajak diskusi budaya Bajo dengan anak Bali, atau mahasiswa Papua bagiin pengalaman pegunungan dengan pemuda Jawa. Obrolan ringan lahirkan pemahaman mendalam: "Oh, ternyata adatmu mirip punyaku!" Inilah benih toleransi, gotong royong, dan rasa memiliki bangsa. Tanpa interaksi, anak muda tumbuh terisolasi di bubble digital, hilang ikatan emosional yang kuat.
Contoh nyata ada di kapal mudik Lebaran. Di feri Ketapang-Gilimanuk, penumpang saling berbagi makanan, cerita keluarga, bahkan nyanyi bersama dadakan. Tapi di kapal reguler, anak muda jarang inisiatif. Padahal, penelitian perilaku penumpang tunjukkan bahwa interaksi positif tingkatkan kesejahteraan bersama—kurangi konflik bagasi, tingkatkan keselamatan. Kru kapal bisa jadi pionir: adakan "lautan sharing session" malam hari, game kelompok, atau diskusi tema "Indonesia dari Laut". Di kapal asing, interaksi kru-penumpang tingkatkan performa 40%—pelajaran berharga.
Teknologi bisa bantu, bukan halangi. App kapal fasilitasi "speed friending" via QR code, grup chat sementara untuk tukar kontak, atau challenge foto bareng "satu kapal satu keluarga". Operator seperti PELNI sudah respon keluhan fasilitas—lanjutkan dengan program sosial. Pemerintah dorong regulasi: ruang interaksi wajib di kapal besar, pelatihan kru hospitality, hiburan lokal gratis. Anak muda sendiri inisiatif: matikan HP sejam, ajak obrolan tetangga dek, bagiin camilan. Satu senyum bisa mulai persahabatan. Jamaah masjid saling pertemukan ide bagaimana asah dan asih umat.
Bayangkan kapal masa depan: dek berubah jadi "lautan pertemanan". Anak muda dan mudi dari Sabang-Merauke tukar nomor WA, rencana kolab startup, atau janji ketemu di Jakarta atau di Makassar. Persatuan lahir dari cerita pribadi: "Aku dari Makassar, atau aku dari Papua, kamu dari Aceh, yaa—kita saudara!" Di era polarisasi medsos, pelayaran jadi oase nyata—tempat hati berlabuh dan bertemu, bukan layar.
Merajut persatuan anak muda di tengah lautan berlatar dasar kapal laut bukanlah mimpi. Suasana pelayaran yang tak dimanfaatkan adalah peluang emas. Dengan sedikit usaha—inisiatif kru, fasilitas ramah, dan anak muda berani bersapa—kapal jadi pabrik persatuan. Lautan bukan pemisah, tapi pemersatu. Mari ubah keheningan dek jadi gemuruh tawa dan cerita. Satu kapal, satu bangsa—persatuan anak muda dimulai dari ombak pertama.
Posting Komentar untuk "Dekat di Tengah Lautan Luas: Mengapa Anak Muda Lewatkan Momen Emas Persatuan di Atas Kapal?"