Oleh: Sudarto*
Pendidikan merupakan pondasi utama peradaban manusia. Ia bukan sekadar alat penyampai pengetahuan, melainkan pembentuk karakter, nilai, dan visi kehidupan generasi mendatang.
Namun, selama berabad-abad, pendidikan sekuler telah mendominasi sistem pendidikan global, memisahkan ilmu pengetahuan dari ketuhanan dan nilai-nilai transendental.
Akibatnya, pendidikan sekuler telah menghancurkan peradaban manusia secara bertahap, melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual namun kosong secara moral, berjumud pada materialistik, dan kehilangan arah spiritual. Kini, saatnya meninggalkan pendidikan sekuler menuju pendidikan berketuhanan yang holistik, yang mengintegrasikan ilmu, akhlak, dan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Pendidikan sekuler, yang lahir dari paham sekularisme Barat abad ke-18, memandang agama sebagai urusan pribadi yang terpisah dari ilmu pengetahuan dan kehidupan publik. Ilmu diajarkan sebagai entitas netral, bebas dari wahyu ilahi, dengan fokus utama pada kemajuan material, teknologi, dan ekonomi.
Hasilnya? Peradaban Barat yang dulunya berbasis keagamaan nasrani mengalami degradasi moral masif: tingginya angka perceraian, kekerasan remaja, korupsi sistemik, dan krisis identitas. Pendidikan sekuler telah menghancurkan peradaban manusia dengan menciptakan manusia "cerdas tapi rusak"—pandai membangun bom atom tapi tak tahu membangun kedamaian hati; mahir menciptakan AI tapi gagal membentuk karakter luhur.
Di Indonesia, pengaruh pendidikan sekuler semakin nyata sejak era kolonial Belanda dan diperkuat pasca-kemerdekaan. Kurikulum nasional cenderung sekuler-materialistik, menyiapkan tenaga kerja siap pakai sambil mengabaikan pembentukan iman dan akhlak. Pelajaran agama dijadikan formalitas hafalan, terpinggirkan oleh mata pelajaran sains, matematika, dan vokasi.
Akibatnya, generasi muda Indonesia mengalami krisis moral: tawuran pelajar, free sex, narkoba, dan korupsi di berbagai kalangan, termasuk kalangan muda yang sejatinya menjadi harapan masa depan. Pendidikan sekuler telah menghancurkan peradaban kita dengan menepikan nilai ketuhanan, menghasilkan manusia liberal yang mengutamakan hedonisme daripada ketakwaan.
Kritik terhadap pendidikan sekuler datang dari para pemikir kaliber dunia seperti Naquib al-Attas, yang menyebutnya sebagai "hilangnya adab" (loss of adab)—ketidakseimbangan antara ilmu dan moral. Ilmu tanpa ketuhanan menjadi racun: menciptakan zalim berilmu yang mengeksploitasi alam dan sesama demi keuntungan pribadi dan sesaat. Di Barat, pendidikan sekuler melahirkan dua perang dunia, Holocaust, dan kapitalisme liar yang merusak lingkungan. Di Timur, ia mempercepat degradasi budaya tradisional, menggantikannya dengan konsumerisme kosong. Pendidikan sekuler telah menghancurkan sendi-sendi peradaban manusia karena memutus hubungan ilmu dengan Tuhan, sumber segala kebijaksanaan dan realita.
Pendidikan berketuhanan menawarkan solusi komprehensif. Ia mengintegrasikan tauhid sebagai dasar segala ilmu: sains dipahami sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda alam), matematika sebagai ketertiban ilahi, dan humaniora sebagai manifestasi rahmat Tuhan. Tujuan utamanya bukan sekadar mencetak sarjana, tapi insan kamil—manusia yang berilmu, berakhlak mulia, dan bertakwa. Di sini, siswa belajar bukan untuk gelar, tapi untuk mengabdi kepada Allah dan sesama.
Model pendidikan berketuhanan telah terbukti berhasil di berbagai tempat. Universitas Al-Azhar Mesir menggabungkan sains modern dengan studi Islam, melahirkan ilmuwan yang inovatif sekaligus berakhlak. Di Turki, sistem pendidikan Imam Hatip menghasilkan generasi yang kompetitif secara global namun tetap taat agama. Bahkan di Barat, gerakan homeschooling berbasis ketuhanan menunjukkan peningkatan prestasi akademik sekaligus kestabilan moral anak. Indonesia bisa belajar dari Pondok Pesantren modern seperti Gontor atau Darussalam, yang memadukan kurikulum nasional dengan pendidikan agama secara integral.
Implementasi pendidikan berketuhanan memerlukan reformasi struktural. Pertama, kurikulum harus berbasis tauhid: setiap mata pelajaran diawali dengan hubungannya dengan ketuhanan. Sains bukan sekadar fakta, tapi pengenalan kebesaran Allah. Kedua, guru harus dilatih sebagai pendidik teladan, bukan hanya pengajar. Ketiga, asesmen holistik: nilai bukan hanya ujian tulis, tapi juga akhlak dan kontribusi sosial. Keempat, kolaborasi sekolah-masjid-masyarakat untuk membentuk ekosistem ketakwaan.
Manfaat pendidikan berketuhanan ini sangat luar biasa. Ia mencegah degradasi moral dengan menanamkan adab sejak dini. Generasi akan cerdas tapi tak zalim; inovatif tapi bertanggung jawab. Peradaban akan bangkit karena ilmu diarahkan pada kemaslahatan umat, bukan eksploitasi. Ekonomi akan berkelanjutan karena berbasis amanah, bukan keserakahan. Politik akan bersih karena para pemimpin takut pada Tuhan.
Tantangan transisi dari sekuler ke berketuhanan tidaklah kecil. Resistensi dari kelompok sekuler dengan segala slogan kelicikannya, harus dihadapi dengan dialog dan bukti empiris. Pemerintah bisa memulai dengan Kurikulum Merdeka dan Berketuhanan yang diperkaya nilai implementasi bukan sekedar “kenal” seperti yang mulai diterapkan di beberapa daerah. Orang tua berperan memilih sekolah berketuhanan atau mendidik di rumah dengan prinsip tauhid.
Riwayat peradaban membuktikan superioritas pendidikan berketuhanan. Peradaban umat abad ke-8-13 melahirkan ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khwarizmi, dan Ibnu Rusyd yang menguasai sains, filsafat, dan kedokteran—semua berbasis tauhid. Saat Eropa gelap di Abad Pertengahan, masyarakat Timur Tengah bersinar. Sebaliknya, pendidikan sekuler modern melahirkan dua perang dunia dan krisis iklim global. Pendidikan sekuler telah menghancurkan peradaban manusia; kini giliran pendidikan berketuhanan mengobati dan menyembuhkannya.
Sebagai umat beragama mayoritas, Indonesia punya tanggung jawab besar dalam menginisiasi dan membangun model pendidikan berketuhanan global. Dengan Pancasila yang sila pertamanya tentang Ketuhanan, kita bisa jadi pelopor. Bayangkan generasi Indonesia: dokter yang menyembuhkan sambil berdoa dan mengingatkan akan adanya kuasa Tuhan, insinyur yang membangun masjid megah dengan disertai dzikrullah, ekonom yang kaya raya tapi zakatnya melimpah dan sedekahnya memancar.
Akhirnya, meninggalkan pendidikan sekuler adalah perjuangan wajib dan harga mati bagi peradaban. Pendidikan sekuler telah menghancurkan peradaban manusia dengan memutus ilmu dari Tuhan, melahirkan kehancuran moral dan material. Pendidikan berketuhanan adalah jalan pulang: mengintegrasikan tauhid, ilmu, dan akhlak untuk insan kamil. Mari wujudkan reformasi ini demi generasi yang tak hanya pintar, tapi juga soleh, peradaban yang tak hanya maju, tapi juga diridhai Allah. Masa depan bangsa tergantung pada pilihan hari ini—pilih pendidikan berketuhanan, selamatkan peradaban!
*Penulis : Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar
Posting Komentar untuk "Meninggalkan Pendidikan Sekuler Menuju Pendidikan Berketuhanan: Menyelamatkan Peradaban dari Jurang Kehancuran"