Malam di Alun-Alun Colliq Pujie Barru itu seperti punya alur ceritanya sendiri. Udara terasa hangat, tetapi tidak berat.
Lampu-lampu festival memantulkan warna ke wajah-wajah pengunjung yang datang dari berbagai penjuru. Ada anak kecil yang memegang tangan ibunya sambil menatap panggung dengan takjub, ada para pemuda yang memakai baju adat Bugis, dan ada pula para sesepuh yang duduk dengan pandangan syahdu, seolah memanggil kembali ingatan masa lalu.
Di tengah harmoni itu, Bupati Barru, Andi Ina Kartika Sari, melangkah menuju panggung utama. Langkahnya tenang, tetapi ketegasan terlihat dari wibawa yang dibawanya. Saat ia berdiri di depan mikrofon, gemuruh riuh tadi mendadak mereda, menyisakan suasana hening yang penuh harap.
“Di era modern, tantangan kebudayaan tidak cukup dijawab dengan teknologi. Kita butuh karakter. Kita butuh identitas.” ujarnya perlahan.
Kalimat itu terasa seperti getaran kecil yang menyelinap ke dada setiap orang. Malam itu, sang Bupati tak sekadar membuka festival. Ia sedang mengingatkan bahwa di balik segala kemajuan, ada sesuatu yang harus tetap dijaga yaitu jati diri.
Festival Budaya Toberu XIV dan Festival Aksara Lontara VI tahun ini memang berbeda. Untuk pertama kalinya, dua festival budaya besar ini dirangkai dengan kolaborasi langsung bersama Kementerian Kebudayaan RI. Ada tangan-tangan profesional dari Direktorat Pengembangan Budaya Digital, Direktorat Sarana dan Prasarana, hingga Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX yang turut memastikan festival ini tidak hanya meriah, tetapi juga bermakna.
“Ini hadiah spesial di awal masa pemerintahan kami. Dengan dukungan kementerian, tentunya festival ini bisa berkembang, berjejaring, dan berkelanjutan.”ucap Andi Ina.
Di balik ucapannya, terpancar rasa syukur yang dalam. Sebuah perasaan yang sulit disembunyikan oleh seorang pemimpin yang tahu betul betapa berharganya perhatian bagi sebuah daerah kecil namun kaya sejarah seperti Barru.
Nama Colliq Pujie berkali-kali disebut malam itu. Sang pejuang, penulis, dan penjaga literasi Nusantara dari Barru yang jejaknya tidak pernah pudar. Ketika Bupati menyebutnya, raut wajahnya berubah seakan ia sedang berbicara tentang seseorang yang begitu ia hormati.
“Barru dianugerahi warisan budaya yang tak ternilai,” katanya pelan.
“Dan Colliq Pujie adalah cermin kecintaan kita pada ilmu, sastra, dan budaya.” katanya lagi seolah menjawab kerinduan panjang masyarakat Barru.
Malam itu pula Museum Budaya Colliq Pujie diresmikan setelah mengalami revitalisasi. Banyak mata yang berkaca-kaca melihat momen ini, terutama para penggiat budaya yang selama ini menjaga naskah-naskah lontara dengan air mata dan kesabaran.
Di tengah sambutannya, Andi Ina sempat menyinggung pengalamannya saat mengikuti kursus Lemhannas di Singapura. Bukan soal gedung megah atau fasilitas canggih yang ia ceritakan, tetapi sesuatu yang lebih sederhana, bagaimana negara maju itu tetap memelihara warisan budayanya.
“Di Singapura, tempat-tempat bersejarah dipertahankan dengan sangat baik dan itu jadi penyemangat bagi saya agar Barru juga dikenal, bukan hanya di Sulawesi atau Indonesia, tetapi hingga mancanegara.” ujarnya bersemangat.
Itu bukan ambisi kosong. Nada suaranya tegas, tetapi hangat. Seakan ia ingin mengatakan Barru mampu. Kita semua mampu.
Di antara tamu-tamu yang hadir, Direktur Pengembangan Budaya Digital Kemendikbud RI, Andi Samsurijal, terlihat bangga. Saat memberikan sambutan, ia menatap ke arah penari, panitia, dan masyarakat yang memenuhi alun-alun.
“Gotong royong Barru luar biasa. Satu bulan persiapan, anggaran terbatas, tetapi hasilnya kita semua bisa menyaksikan betapa megahnya festival ini.” katanya.
Dari perwakilan Pemerintah Provinsi Sulsel, Dr. Muhammad Ichsan Mustari hadir mengingatkan kembali bahwa aksara Lontara bukan sekadar bentuk tulisan. Itu adalah rekaman peradaban. Ada moral, hukum, diplomasi, hingga filosofi hidup di dalamnya. Dan itu harus diajarkan sejak dini.
“Pelestarian budaya tidak boleh hanya menjadi rutinitas tapi harus menjadi gerakan berkelanjutan.” ujarnya.
Dan ketika malam mencapai puncaknya, 150 penari tampil membawakan Tari Massal Colliq Pujie. Gerakannya anggun, kompak, dan sangat hidup. Gerak mereka seperti menjahit kembali benang-benang sejarah yang mungkin mulai renggang.
Narasi, musik, dan tarian menyatu. Seperti mengirim pesan bahwa budaya bukan hanya untuk dirayakan, tetapi juga untuk dihidupi.
Dari kejauhan, suara tepuk tangan bercampur dengan desir angin malam disela pepohonan Malam itu, Barru tidak hanya menyalakan lampu festival, tetapi menyalakan kembali cahaya kebanggaan pada warisan leluhur.
Dan saat para pengunjung mulai beranjak pulang, banyak yang masih menoleh ke arah panggung, seolah enggan membiarkan kehangatan malam itu berlalu begitu saja.
Karena pada malam itulah Barru memantapkan jati dirinya.
Menyatakan kepada dunia bahwa budaya bukan sekadar masa lalu, melainkan cahaya yang menuntun masa depan.
Posting Komentar untuk "Cahaya Budaya dari Colliq Pujie: Ketika Barru Menghidupkan Kembali Jejak Leluhur"