Ketika Amarah Menjadi Bahasa Publik: Saatnya Menahan Diri dan Bermuhasabah

       
           Oleh : Kamaruddin Hasan

Beberapa hari terakhir bangsa ini diguncang oleh rentetan peristiwa: meninggalnya seorang driver ojek online, aksi pembakaran gedung DPRD di Makassar, hingga demonstrasi serentak di berbagai daerah. 

Peristiwa ini mencerminkan ledakan amarah publik yang tidak lahir dari ruang kosong, melainkan akumulasi kekecewaan, ketidakadilan, dan kegelisahan sosial yang lama dipendam.

Namun, amarah yang diekspresikan secara destruktif sering kali justru melukai kita sendiri sebagai bangsa. Gedung yang terbakar, fasilitas yang rusak, hingga nyawa yang terenggut, semuanya adalah kerugian bersama. Karena itu, momentum ini seharusnya tidak berhenti pada luapan emosi, melainkan menjadi ruang muhasabah dan refleksi nasional.

Membaca Amarah dengan Kearifan
Dalam kehidupan bermasyarakat, amarah adalah bagian dari dinamika manusiawi. Tetapi, ketika ia mewujud dalam bentuk kolektif yang merusak, maka amarah kehilangan makna keadilannya. Apa yang seharusnya menjadi aspirasi berubah menjadi anarki. Inilah saatnya kita menyadari bahwa amarah bukan satu-satunya bahasa publik. Ia harus diubah menjadi dialog, musyawarah, dan tindakan konstruktif.

Peran Pendidikan dan Kebersamaan
Pendidikan seharusnya melatih kemampuan mengelola emosi, membangun empati, dan menyalurkan kritik dengan cara yang sehat. Namun realitasnya, pendidikan kita lebih banyak menekankan aspek kognitif, sementara pendidikan emosi dan sosial masih terabaikan. Akibatnya, masyarakat mudah terjebak dalam ekspresi kemarahan yang spontan dan destruktif.

Momentum ini dapat menjadi pengingat bahwa sekolah, keluarga, dan ruang publik harus menjadi arena pembelajaran kebersamaan. Kita perlu membangun literasi emosi dan literasi sosial, agar protes tidak berakhir pada kerusakan, melainkan melahirkan kesadaran.

Saatnya Muhasabah Kolektif
Peristiwa ini bukan hanya soal keamanan, tetapi juga ajakan untuk bermuhasabah. Pemerintah perlu meninjau kembali sejauh mana keadilan ditegakkan. Lembaga politik perlu bercermin apakah mereka benar-benar mewakili rakyat. Masyarakat pun perlu bertanya pada diri sendiri: apakah amarah yang kita ekspresikan benar-benar menyelesaikan masalah, atau justru memperburuk keadaan?

Muhasabah mengajarkan kita untuk tidak hanya menyalahkan, melainkan juga memperbaiki. Dengan muhasabah, kita belajar menahan diri, bersabar, dan menyalurkan aspirasi dengan cara yang lebih bermartabat.

Dari Amarah ke Harapan
Bangsa ini tidak boleh terjebak dalam lingkaran amarah yang berulang. Kita harus berani mengubah amarah menjadi energi perubahan positif: melalui kesabaran, dialog, pendidikan karakter, dan empati sosial.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa tanpa amarah, melainkan bangsa yang mampu mengelola amarah dengan bijak. Semoga peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih menahan diri, lebih peduli, dan lebih berlapang dada, agar ruang publik kita dipenuhi cahaya persaudaraan, bukan api kemarahan.

*Penulis, Guru Besar Ilmu Pendidikan dan Keguruan UNM serta Rektor Institut Teknologi, Bisnis, dan Administrasi Al Gazali Barru.

Posting Komentar untuk "Ketika Amarah Menjadi Bahasa Publik: Saatnya Menahan Diri dan Bermuhasabah"