Di Bawah Gerimis Paccekke, Putra Sang Pejuang Menghidupkan Kembali Kisah Heroik Andi Mattalatta

Barru-B88News.id- Gerimis yang turun pelan malam itu seolah menjadi bagian dari cerita. Lampu-lampu di Lapangan Monumen Paccekke memantulkan kilau lembut di wajah ratusan peserta Napak Tilas yang berdiri menyimak. 

Lalu suara Andi Ilhamsyah Mattalatta pecah pelan dan tenang, namun sarat getaran hati. Malam Ramah Tamah Napak Tilas Rute Garongkong–Paccekke, Sabtu (29/11/2025), berubah menjadi panggung di mana sejarah kembali bernapas.

Ia berdiri dipanggung bukan sekadar sebagai pembicara, melainkan sebagai seorang anak yang membawa memori ayahnya sendiri, Andi Mattalatta, nama yang bagi sebagian besar generasi hari ini hanya terdengar dari buku sejarah.

Dengan tatapan menyapu generasi muda yang hadir, Andi Ilham mengingatkan kembali tentang para pemuda Sulawesi Selatan di Panarukan yang telah lebih dulu bergabung dengan TRI. Mereka berangkat pada 18 Desember 1946, mengarungi samudera luas  dalam keadaan serba tidak pasti, dan di tengah kekuatan Belanda yang terus menekan.

Tidak satu pun di antara mereka benar-benar yakin bahwa kita akan merdeka. Apalagi jika melihat persenjataan yang mereka miliki seadanya, jauh dari cukup. Tapi mereka tetap berangkat.” katanya dengan suaranya merendah membuat seluruh lapangan seketika sunyi.

Andi Ilham melanjutkan kisah ayahnya yang mendapat mandat langsung dari Jenderal Besar Sudirman untuk membentuk pasukan TRI di Sulawesi. Tugas itu bukan sekadar panggilan, melainkan perjalanan menuju sesuatu yang sangat mungkin berakhir dengan kematian.

Pendaratan pada 31 Desember 1946 di Garongkong dipilih bukan karena aman, tetapi karena malam itu dunia berpesta tahun baru, kecuali mereka yang datang membawa mimpi kemerdekaan.

Namun langkah menuju Paccekke penuh pertempuran. “Banyak rombongan ekspedisi yang bahkan ditenggelamkan Fregat Belanda,” ujarnya.

Mendengar kisah itu, ketegangan terasa diantara yang hadir mendengar kisah itu, tampak menghela napas, seolah bunyi meriam kembali bergema di antara rimbunan pepohonan Paccekke. Dan  seakan mereka menyaksikan sendiri para pemuda itu menatap lautan luas yang tak memberi janji apa-apa.

Suasana semakin mengharu ketika ia menceritakan Andi Sirifin, seorang pejuang muda yang seluruh tubuhnya dipenuhi luka dan akhirnya gugur saat markas tempatnya dirawat diserang Belanda.

Wajahnya hampir tidak dikenali. Tapi semangatnya tak pernah padam.”ungkapnya. 

Kisah itu lagi-lagi membuat beberapa peserta Napak Tilas terdiam lebih lama, menunduk bukan karena hujan, tetapi karena rasa hormat.

Kepada generasi muda, Andi Ilham memberikan pesan yang terasa seperti amanat dari masa lampau.

Mereka meninggalkan zona nyaman, menukar hidup mereka dengan harapan merdeka yang belum pasti. Kita yang hidup hari ini tidak hanya mewarisi negara ini, kita mewarisi keberanian mereka.” ujarnya. 

Malam itu Andi Ilham juga menyerahkan buku Meniti Siri dan Harga Diri: Memoar Andi Mattalatta kepada Kajendam XIV/Hasanuddin, Bupati Barru, dan Wakil Bupati Barru. Ia mengungkapkan bagaimana ayahnya sempat menolak menceritakan kisah perjuangannya karena takut melukai pihak lain.

Butuh waktu lama dan dorongan dari tokoh-tokoh seperti Prof. Salim Said untuk membuat beliau bersedia,” tuturnya.

Ketika sambutan usai, gerimis kembali turun. Bukan sebagai gangguan, tetapi seolah menjadi selimut lembut yang membungkus cerita itu. Kisah tentang perjalanan manusia-manusia sederhana yang memilih melawan, tentang ayah dan anak, tentang ingatan yang tak boleh hilang.

Dan malam di Paccekke itu menjadi bukti bahwa sejarah bukan hanya dikenang tetapi dihidupkan kembali, setiap kali ada yang bersedia menceritakannya.(syam) 



Posting Komentar untuk "Di Bawah Gerimis Paccekke, Putra Sang Pejuang Menghidupkan Kembali Kisah Heroik Andi Mattalatta"