Pesta Panen Adat Paenge: Dari Janji Leluhur hingga Diakui Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Barru – B88News. Id -Sebuah kabar membanggakan datang dari dunia kebudayaan. Tradisi Pesta Panen Adat Paenge (Ade’ Pangadereng Pallaong Ruma Ri Paenge Birue) dari Dusun Birue, Desa Siawung, Kecamatan Barru, akan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia dalam Sidang Penetapan yang akan berlangsung pada 5–11 Oktober 2025. di Jakarta. 

Hal itu disampaikan Anggota Tim Pengusul Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) kabupaten Barru Nasdir Rafli, S. Pd. M. Pd, di Kantor Dinas Pendidikan kabupaten Barru, Selasa 23/9/2025.

Bagi masyarakat Barru, khususnya warga Dusun Birue, penetapan ini tentunya bukan hanya sekadar penghargaan. Ia adalah pengakuan terhadap janji leluhur, doa, dan syukur yang selama ratusan tahun dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Sejarah Paenge berawal dari masa sulit, ketika masyarakat Birue pernah mengalami gagal panen. Rasa putus asa sempat menyelimuti, hingga seorang Ketua Adat, Indo Lolo, mengikrarkan sebuah janji (nazar): jika panen berikutnya berhasil, maka akan digelar sebuah pesta syukur.

Janji itu memberi semangat baru. Warga kembali mengolah sawah dengan tekun, dan benar, panen pun melimpah. Nazar ditunaikan, pesta panen pertama digelar, dan sejak saat itu tradisi ini hidup sebagai adat istiadat tetap dalam kalender budaya Birue.

Pusat acara selalu berada di Sumber Mata Air Paenge, sebuah lokasi yang diyakini sakral. Mata air ini bukan hanya sumber air bersih, tetapi juga penopang sawah dan kebun. Dulu, tempat ini dinaungi pohon besar bernama paenge, sehingga lokasi ini disebut Paenge.

Bagi masyarakat, sumber air ini adalah lambang kehidupan. Karena itu, setiap ritual dalam pesta panen selalu bermula dan berakhir di tempat ini.

Ritual dimulai dengan penentuan hari baik oleh pemangku adat, Bapak Semmali dan Ibu Imaiseng, yang puluhan tahun setia menjaga jalannya tradisi.

Acara berlanjut dengan Manre-Manre Kuwae Tuoe (makan bersama di sumber air) yang uniknya hanya diikuti kaum lelaki. Dilanjutkan dengan Mappadendang membunyikan alu di atas lesung selama tiga hari tiga malam yang diawali dengan prosesi Maccera atau penyucian alat.

Puncak pesta adalah Ma’jenne-Jenne (mandi-mandi), saling siram air antarwarga dan tamu undangan. Uniknya, tamu dengan kedudukan sosial tertinggi justru menjadi sasaran siraman pertama, sebagai simbol bahwa keberkahan dan kesuksesan harus bisa menyebar ke seluruh masyarakat.

Di akhir acara, para perempuan anggun dengan baju bodo menyajikan hidangan khas yang serupa dengan jamuan Hari Raya. Semua orang duduk bersama, tanpa sekat, menyantap hidangan penuh syukur.

Kini, setelah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, Pesta Panen Adat Paenge bergabung dengan empat karya budaya Barru lainnya yang lebih dulu diakui, yaitu:

Marakka’ Bola (Maddo)

Sere Api (Gattareng)

Maddoja Bine (Binuang)

Mattojang (Paccekke)

Dengan pengakuan ini, Pesta Panen Adat Paenge sebagai Warisan Budaya Tak Benda, tidak lagi hanya milik masyarakat Birue Barru,  tetapi  kini menjadi kebanggaan Indonesia, mengingatkan kita semua bahwa hidup selalu berakar pada tanah, air, kebersamaan, dan rasa syukur. (syam m. djafar) 


Posting Komentar untuk "Pesta Panen Adat Paenge: Dari Janji Leluhur hingga Diakui Sebagai Warisan Budaya Tak Benda"